Selasa, 21 Februari 2012

cerita pendek ku yang usang dan malang

Aku pernah sempat menulis satu cerpen yang sangat lama sekali, dan pas ku buka sekarang sudah banyak debu, dan hampir ilang dimakan rayap, untung cepat ku bersihkan. Ni cerpen tak kunjung di edit, diterbitkan, dipublikasikan, ya pokoknya gak kunjung apa-apalah. Cuma aku dan beberapa orang yang pernah kuperlihatkan saja yang pernah membacanya. dan tak satupun menanggapinya, mungkin garing, kuno, jelek atau sangat tidak mengenakkan bagi mereka, aku tidak tahu. Yang jelas ini cerpen pernah mau ku terbitkan ke buletin jurusan dulu, tapi gak jadi-jadi karena ada kesalahan teknis, dan sampai sekarang malah buletinnya yang udah gak ada.
Ya begitulah perjalanan cerpen yang malang ini. Ibarat pepatah, “niat hati hendak memeluk gunung, apalah daya tangan tak sampai”, aku sangat berniat ini cerpen di edit oleh saudaraku (kebetulan saudaraku maestro cerpenis di jogja ini) dan dipublikasikan dimana-mana, kampus-kampus, sekolah, Koran-koran dsb, (seperti iklan2 yang dibagi orang2 di perempatan lampu merah) dan sampai aku terkenal seperti artis.haha…
tapi apalah daya niat itu tidak kesampaian, karena aku sendiri tidak yakin ni cerpen layak dperlihatkan ke orang banyak (umum),haa…
ya, pokoknya ini spesial lah buat kamu yang masuk ke blog ku, daripada gak ngapa-ngapain mending baca ini, mana tau isi/jalan cerita sama dengan kamu atau orang sekeliling kamu. Dan bagi yang mau caci-maki, komplen, nanggapi, mau bilang jelek, silahkan tulis aja sepuas-puasnya. Aku ikhlas kok. *mata berkaca-kaca,sampai kacanya pecah. Selamat menikmati…

IBU
Oleh: benn

     
Aku tidak tau harus mulai dari mana menceritakan ini semua,yang jelas setiap aku melihat raut wajah ibu yang begitu rentan di makan usia dan mengingat pesanya, semangatku untuk melakukan ini tak bisa surut. Aku memang di lahirkan untuk bisa menyayangi apalagi ibu yang telah begitu rela menompangkan aku dalam perutnya, tidak tanggung-tanggung sepuluh bulan empat hari lamanya, itu pun kata ibu aku masih nolak untuk dilahirkan secara normal yang artinya butuh operasi khusus untuk melahirkanku. Belum cukup-cukup nya menyiksa ibu berumur dua bulan aku sudah tidak mau lagi minum asi nya tak tau persoalan kenapa, dan akhirnya aku di kasih susu buatan. Dan ibu, ya beliau mengalami pengerasan payudara yang tidak juga  bisa diobati dengan biaya murah. Kata dokter yang memeriksa, beliau mengalami kanker payudara tahap awal yang katanya disebabkan karena aku tidak mau meminum air susunya. Belum habis juga aku menyiksa ibu, tetapi aku tidak tau lagi harus menceritakan yang mana yang artinya pengorbanan ibu buat aku tidak akan muat dalam satu cerita, buku sekalipun. Aku tau aku tidak akan bisa membalas jasa ibu, maka dari itu sekalipun dalam masa kanak-kanak, aku tidak pernah membangkang pada beliau. Sekarang itu persoalanya. Aku tau ibu pasti menyetujui apa yang akan aku inginkan, tetapi aku tidak tega melihat ibu. Aku sudah besar seharusnya tidak merepotkan beliau lagi, harusnya lebih tahu diri tapi sebenarnya perasaan ini juga tidak bisa di bohongi teman, apa yang harus aku lakukan?

***

Setiap mau pergi ke sekolah ke kota aku selalu mencium tangan ibu terlebih dahulu dan beliau tidak pernah lupa mengucapkan kata yang lebih tepatnya pesan,
“jaga diri baik-baik ya nak”, dan aku tidak lupa untuk bilang “ya bu..!”.
Dan dalam perjalanan beliau tidak henti-hentinya mengirim sms menanyakan apakah aku sudah sampai tujuan dengan selamat bahkan dalam handphone pun beliau juga menulis pesan yang tadi (jaga diri baik-baik ya nak). Meski ini hanya satu pesan pendek tapi aku tidak menganggap nya sepele, ini mempunyai arti yang tersirat dari ibu untuk anaknya. Aku terlahir dua bersaudara yang di dahului kakak ku laki-laki yang sekarang menghabiskan waktu di Malaysia. Karena dia tidak menginginkan apa yang disuruh ibu untuk sekolah ke tingkat yang lebih tinggi maka dengan bermodal ijazah SMA dia pergi untuk meninggalkan rumah. Ibu tidak bisa memaksa karena beliau tahu kakak ku keras kepala yang kata ibu itulah yang diturunkan ayah kepadanya. Dan ayah semenjak aku SMP sering sakit-sakitan dan akhirnya meninggalkan kami waktu aku sudah pertengahan SMA. Kakak pun tidak pulang waktu mengebumikanya hanya melayangkan sepucuk surat  yang mengatakan semenjak disana dia belum dapat kerja yang tetap artinya dia tidak punya ongkos untuk pulang. Hanya aku dan ibu yang merasakan kehilangan ayah. tetapi ayah bukan orang yang tidak bertanggung jawab terhadap keluarga, meninggalpun beliau masih memikrkan biaya untuk kami. Beliau adalah pensiunan guru sekolah dasar dan dari situlah kami hidup. Tamat SMA ibu tidak mau menyia-nyiakan aku, ibu tidak mau kelakuan kakak terulang lagi, beliau menyuruhku kuliah ke kota, dan kebetulan sekali di SMA aku termasuk murid pintar sehingga mendapat undangan di salah satu universitas negeri di kota ku dan ibu sangat senang itu.
Besoknya ibu begitu semangat menyiapkan keberangkatan aku ke kota, mulai dari membangunkan pagi-pagi sekali hingga mengantarkan aku ke loket pemberangkatan, sebelum bus berjalan beliau berkata,
 “jaga diri bak-baik ya nak”,kata ibu. ”ya bu..!”, jawab ku.
Sebenarnya aku sedih meninggalkan ibu sendiri di rumah. Siapa yang akan membantunya kalua beliau capek bekerja seharian di dapur tapi aku tidak bisa memilih dari sebuah pilihan untuk melanjutkan sekolah sesuai perintah ibu. Tapi untunglah tidak beberapa lama setelah itu ibu memiliki satu teman kecil anak tante ku yang telah meninggal kecelakaan empat bulan yang lalu, Rere namanya, dan ayahnya telah menikah dengan perempuan kota yang isunya mempunyai anak yang banyak. Dengan rapat keluarga keluarlah ibu sebagai hak asuh Rere. Kebetulan sekali ibu tidak punya teman dirumah dan beliau tidak menolak di tunjuk paman sebagai pengasuhnya
       Tiga tahun sudah aku berada di kota untuk melanjutkan kuliah, semakin lama aku semakin terpikir bagaiman ibu di rumah dengan usia yang tak bisa di tutupi lagi apakah beliau sanggup menjalani kegiatan sendiri. Terakhir pulang aku melihat raut wajah nya makin berkerut dan nampaknya honor yang ditinggalkan ayah tidak cukup lagi membiyai kami, seiring berganti waktu pengeluaranku semakin banyak, uang gedung, uang praktek, semester, dan belum lagi belanja serta kos-kosan ku di kota, sehingga terpaksa ibu berpandai-pandai dikampung untuk meminjam pada saudara-saudara untuk kebutuhan beliau dan Rere yang sebentar lagi akan masuk SMP.
Hingga pada suatu saat ibu kenal dengan sosok lelaki yang awalnya dia hanya tetangga yang baru pindah dari kota, yang konon ayahnya sudah tidak sanggup lagi mengurus toko dikampung ini dan di utuslah dia kesini. Karena keperluan mendadak ibu terpaksa meminjam uang pada lelaki tersebut, karena kasihan lelaki itu tidak meminjam kan ibu melainkan memberinya tanpa harus membayar, kata ibu lelaki itu mengingatkanya pada kakakku. Usia dan tubuhnya persis sama dengan kakak. Semenjak kejadian itu pun lelaki itu sering kerumah menjenguk ibu yang katanya juga, ibu mengingatkanya pada mama nya yang telah lama meninggalkanya. Dan pada suatu ketika aku pulang libur semester, aku bertemu lelaki itu dirumah yang sedang berbicara dengan ibu.
“Ini anak ibu yang namanya Maya itu?” kata lelaki itu, ”ya !” jawab ibu.
Aku gugup ternyata ibu telah menceritakan tentang aku kepadanya, dan aku memperkenalkan diri sembari bersalaman denganya.
”Ridho”, tangkasnya sembari bersalaman denganku.
Ternyata dia memiliki nama Ridho dan tidak lupa pula aku mencium tangan ibu setelah bersalaman dengan nya. Hari-hari berikutnya dirumah aku makin akrab dengan Ridho, setiap sore dia selalu datang untuk menjenguk ibu atau aku dan kami sering keluar untuk hanya sekedar jalan-jalan melihat suasana kampung di sore hari, Rere pun tidak pernah ketinggalan dan pasti dengan seizin ibu dulu. Pernah juga suatu saat kami pulang agak kemalaman karena dijalan kami di hadang hujan yang begitu deras terpaksa kami menunggu hingga reda dulu, sampai dirumah sebelum ibu bertanya aku langsung menjelaskanya terlebih dahulu dan ibu ternyata cuma mengeluarkan senyum, aku tidak mengerti apa arti senyum ibu.
Sekarang, apakah ibu menjodohi ku dengan Ridho? Apakah Ridho pilihan ibu untuk ku? Atau apakah mereka telah merencanakan semua ini? Agar aku perlahan-perlahan suka dengan ridho? ya Tuhan berdosalah aku yang telah berprasangka buruk terhadap ibu.
Besoknya ketika aku mau berangkat ke kota tidak ketinggalan ridho ikut mengantarku ke terminal bus. Dengan mengucapkan salam aku menaiki bus yang mau berangkat. Sampainya di kota pun tidak hanya ibu lagi yang menanya  kabar tapi ridho pun setiap waktu luang sering sms bahkan ketika kiriman pun datang ridho tidak jarang menyelipkan surat termasuk apa yang akan disampaikan ibu untukku. Dan kejadian seperti itu berlangsung setahun lebih lamanya.

***

Dan sekarang semua mengalir begitu cepat, ketika diluar tidak terdengar lagi suara sahut-menyahut klakson mobil yang saling berusaha mendahului dan gerak langkah kaki yang tergesa-gesa menuju rumah mereka, handphone ku berdering keras di atas meja belajar, setelah ku lihat ternyata ibu yang menelpon jam waker dimeja menunjukan sebelas lewat sepuluh menit malam.
”Kenapa bu? Ko menelpon malam-malam, ada apa?”, kataku memulai.
Awalnya ibu hanya diam dan setelah menghirup nafas beberapa kali beliau berkata, ”ada yang perlu ibu omongin nak?”
Aku terkejut tidak biasa-biasanya ibu begini.
”Setelah beberapa hari ibu pertimbangkan ada pentingnya ibu menuruti kata ridho”, sambung ibu.
Ridho? Ada apa dengan dia bu? Apa yang telah diperbuat terhadap ibu hingga ibu mau menurutinya? Sebelum pertanyaan itu sempat keluar dari bibirku yang kaku ibu melanjutkan kata-katanya.
”Di dunia ini kita pasti menemui dua perbandingan hal.”
Aku tidak mengerti dengan kata-kata ibu tapi aku tidak berkomentar hanya mendengarkan.
”Ada awalan ada akhiran, ada pertemuan ada perpisahan, ada kehidupan pasti datang kematian”.
Aku semakin bingung tapi kurasakan ada air yang mulai mengalir dari mata merambah pipiku.
”Mungkin waktu buat ibu menikmati kehidupan tidak akan lama lagi, tulang-tulang ini sudah tidak sanggup untuk dipaksakan bergerak, kakak mu yang ibu tunggu jangankan pulang surat pun dia tidak kirim lagi, entah bagaimana keadaanya disana.” Ibu diam sejenak dan aku tetap terpaku.
“Tadi ibu sudah ngomong dengan Ridho panjang lebar, sebebntar lagi dia akan meninggalkan kampung ini ayahnya sudah sering sakit-sakitan, tokonya yang diseberang jalan rumah kita akan dijual dan pembelinya pun telah ada. Dia akan tinggal dikota mengurus usaha yang disana sekaligus mengurusi ayahnya. Kamu kan tau dia anak tunggal, jadi dia tidak bisa berbuat banyak, sama dengan mu terhadap ibu. Dan ayahnya pun berpesan bahwa dia ingin sekali melihat Ridho menikah dulu sebelum ajal menjemputnya. Pesan beliau (ayahnya Ridho) itu mengingatkan ibu akan hal itu juga nak.” kata ibu menjelaskan.
Aku tertegun dan mengusap air di pipi.
”Ridho tadi berkata juga kalau ibu tidak ada masalah dia ingin meminang mu, dan dia yang akan membiayai lanjutan sekolah mu disana. Kemaren kan kamu juga cerita bahwa teman yang seangkatan sudah ada yang menikah. Tadi ibu belum bisa menjawab apa-apa, biarlah kamu yang menjawab ini semua,” sambung ibu sambil menunggu jawaban ku.
Aku hanya diam dan belum menjawab apa-apa. Memang nampaknya beliau tidak ingin jawaban dariku sekarang. Dan sebelum ditutup beliau menyuruhku untuk memikirkanya baik-baik dan berpesan seperti biasa,
“jaga diri baik-baik ya nak.” pesan penutup telepon ibu.
Aku masih tetap terpaku dan diam sampai beliau mematikan telepon. Baru beberapa menit kehilangan suara ibu baru aku menulis ini semua, aku tidak tau harus mengambil jalan seperti apa, bukan masalah tidak siap untuk menjalaninya tapi hati kecilku belum  menemukan yang disukai, tepatnya aku belum kepincut dengan Ridho, meskipun dia begitu baik terhadap aku dan ibu. Memang masalah hati dan perasaan tidak ada yang bisa tahu.
Kalau ku dengar dari suaranya, ibu mungkin telah memikirkan ini berulang-ulang dan baru menyampaikanya padaku. Tapi aku harus bagaimana? Adakah kau mempunyai cerita yang sama dengan ku? Aku butuh bantuanmu?


Jogja, 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar