Sabtu-Minggu, 1-2
September 2018
Menelusuri beberapa
titik persinggahan di pulau Bintan Kepulauan Riau dengan mereka yang
meraba-raba kegembiraan. Dua hari satu malam kami lewati bersama-sama,
berangkat dari tempat kami bekerja menggunakan Gocar menuju pelabuhan Punggur
Batam untuk menaiki kapal roro menuju Tanjung Uban, pulau Bintan. Perjalanan yg
didasari oleh padatnya rutinitas pekerjaan membuat kami harus memantapkan
rencana untuk berlibur bersama, dan seminggu sebelumnya sudah kami matangkan
tentu saja.
Hendra, Bulin, Ben,
Gita, Ujin, Riri, Dina, dan Fitri delapan orang karyawan sebuah perusahaan
swasta di kota Batam. Perjalanan bermula dari lokasi kerja pada pukul 2 siang,
menaiki dua mobil pesanan (gocar)
dengan biaya 20 ribu per unit menuju pelabuhan Punggur dengan durasi kurang lebih
30 menit. Sampai di Punggur, kami membeli tiket roro di loket dengan harga 20 ribu
per orangnya. Pukul 15.00 WIB roro dengan klakson besarnya segera beranjak dari
pelabuhan.
"Mual aku
Hen!" oceh Bulin ketika roro mulai goyang di perairan. "Ya sudah,
bawa tidur aja Bu", balas Hendra seadanya. Bulin memang jarang naik kapal
apalagi roro dengan segala kekurangannya, tak ada nomor kursi, tak ada organ tunggal, tak ada jasa massage
tentu saja. Semua bebas, bak hukum rimba, siapa cepat dia dapat, yang datang duluan
dia yang mendapatkan posisi dan kursi terbaik. Kecepatan rendah membuat
perjalanan terasa lama, padahal dari pelabuhan Punggur pulau Bintan telah
nampak, tidak jauh-jauh sekali, namun karena berbagai faktor membutuhkan waktu satu
jam untuk kapal bersandar ke pelabuhan Tanjung Uban tersebut.
Sepanjang perairan kita bisa melihat kawasan-kawasan industri di bibir pantai
pulau Batam, kapal-kapal barang yang terparkir, speedboat patroli polisi, dan beberapa kapal penangkap ikan sekitar
yang tampak menua. Cuaca siang ini cukup cerah,
beberapa dari kami tidak lupa mendokumentasikan perjalanan ini, jarang-jarang naik
kapal segede ini, kecuali aku yang memang sedari kuliah cukup aktif
memakai jasa transportasi laut, setidaknya sekali setahun, antara Merak dan Bakauheni.
Laut lepas berwarna biru kecoklatan, riak gelombang, dan pulau-pulau gersang
sebagai background foto telah
berhasil diabadikan Riri, hape Oppo nya
nyaris tidak diam semenjak kami menaiki kapal, percayalah, perempuan termuda
yang -sangat- eksis di pesbuk ini tidak akan melewatkan momen
ini begitu saja.
Satu jam setelahnya,
16.00 WIB roro merapatkan badan ke dermaga Tanjung Uban, pulau Bintan. Pengumuman
dari dek kapal menandakan sudah saatnya kami turun, sekali lagi Riri tak melewatkan
begitu saja, beberapa
kali jepretan dilakukan sebelum kami benar-benar
turun dari kapal. Mobil yang kami booking
jauh hari telah menunggu di gerbang pelabuhan, biaya sewa 300 ribu per hari, setelah
negosiasi selesai kami langsung menuju pom terdekat dan mengisi BBM senilai 100
ribu. Menunggu Bulin, Fitri, dan Gita sholat, aku
dan Hendra
berbelanja keperluan di minimarket sekitar. Tanjung Uban tidak begitu besar/luas,
bangunannya pun cendrung sederhana, tidak ada bangunan tinggi,
hanya ruko-ruko sederhana di sepanjang jalan kota, ini tak jauh berbeda dengan
kota kabupaten dikampungku, hanya di sini lebih banyak perusahaan besar. Terlihat
di sebagian bibir pantai Tanjung Uban berdiri bangunan-bangunan pabrik yang
mengeluarkan asap hasil pembakaran. Jalanannya pun
sederhana, sepanjang yang kami tempuh tidak menemukan lajur dua, hanya jalan dua
arah seperti biasa, senada dengan kendaraan-kendaraan yang melintasinya, kami tidak menemukan truk
tronton
atau mobil besar, entah karena mobil tersebut ada jadwal khusus masuk kota ini,
kami tidak tahu.
Lamunanku tiba-tiba
buyar setelah Bulin mengajak untuk segera jalan, menandakan mereka telah
selesai sholat dan beres-beres. Kami melanjutkan perjalanan menuju lokasi
wisata pertama yaitu Bukit Pasir Bintan, salah satu objek wisata dan spot foto yang
lagi viral di dunia maya, tanya saja Riri kalau
anda tidak yakin. Jalanan yang cukup lapang dan sepi tak membutuhkan
waktu lama sampai di lokasi ini, lebih kurang 30 menit kami memasuki kawasan Bukit Pasir, disambut petugas parkir dan beberapa
pengunjung lain yang sedang berfoto. Gundukan-gundukan pasir putih yang telah
mengeras menjadikan lokasi ini menyerupai kawasan padang pasir di Timur Tengah,
dengan menambah objek patung onta dan ornamen lain menjadikan kemiripan itu
semakin nyata. Tak perlu aba-aba untuk kami langsung menelusuri bagian-bagian
gundukan mencari spot foto terbaik dan terbagus versi kami. Konon kata temanku
warga sekitar sini, Bukit Pasir ini adalah bekas tambang
timah Tanjung Uban dulu kala, gundukan itu terbentuk dari
sisa
galian timah yang di keruk dari dalam tanah. Senja telah datang, matahari
perlahan pamit untuk kembali, beberapa foto telah berhasil di
simpan di kamera hape masing-masing
dengan pose yang bervariasi. Sekedar info, masuk Bukit Pasir tidak dikenakan
biaya kecuali anda berfoto bersama objek yang disediakan pengelola, sperti onta
(buatan), pelangi (buatan), dan hiasan-hiasan yang berbentuk hati. Kalau cuma
sekedar bermain di bukit pasir, dan tidak berbelanja diwarung sekitar tentu
saja, anda cuma dikenakan tarif parkir kendaran normal, untuk
mobil
hanya 5 ribu rupiah.
Jalanan telah nampak
gelap, petugas parkir memberi aba-aba kalau jam kunjung wisata telah habis,
belum cukup lampu penerangan untuk kawasan ini sebagai objek wisata malam hari,
dan memang kami satu-satunya pengunjung yang tersisa. Setelah membayar parkir, kami
melanjutklan perjalan menuju Kota Tanjung Pinang, suara
Charly van
Houten berkumandang sepanjang perjalanan, flashdisk mp3 yang tersedia dalam
mobil ini tidak memberi kami banyak peluang untuk menentukan lagu lain. Riri, Ujin,
Dina, dan Fitri begitu larut dalam alunan ST12 sampai tidak menyadari bahwa
kami akan segera memasuki kota Tanjung Pinang.
Lebih kurang 2 jam perjalanan kami dari Bukit
Pasir ke kota ini, jalanan yang luas dan lengang menambah
kecepatan durasi waktu. Melewati
jalur barat, jalur terbaru dan terdekat antara Tanjung Uban dan Tanjung Pinang.
Sekedar info, untuk ke dua kota ini bisa kita tempuh dengan
dua jalur, lama (tengah) dan baru (barat).
Jalan dua lajur sebagai
penanda bahwa kami telah memasuki koa Tanjung Pinang, kota ini cukup padat dari
pengendara motor dan mobil pribadi namun tetap lancar, kami nyaris tidak
melihat adanya angkutan umum semacam bus kota atau sejenisnya. Tekstur jalan
yang tidak merata, menanjak dan menurun membuat pengendara menjaga betul
kecepatannya, dan bermodalkan aplikasi smartphone Wize dan googlemaps kami langsung menuju salah
satu landmark kota tersebut,
yaitu gedung Gonggong. Gedung yang menyerupai gonggong (siput laut) besar, yang
berada di bibir pantai dekat pelabuhan ferry.
Namun karena capek dan gerah kami memustuskan hanya sekedar lewat dan langsung
mencari hotel tempat bermalam. Pada pukul 21.00 WIB setelah googling dan
mencari-cari penginapan sekitar, kami menemukan hotel yang cocok untuk kebutuhan berdelapan,
harga permalamnya 170 ribu untuk 2 orang dengan 2 bad/kasur. Aku sekamar dengan Hendra, Bulin dengan Riri, Dina dengan Fitri, dan Ujin
dengan Gita. Semua tampak lelah, tanpa komentar panjang perlahan kami memasuki kamar
masing-masing. Hotel sederhana yang tidak menyediakan parkiran khusus
mobil, hanya mengandalkan ruas jalan searah di depannya. Setelah bersih-bersih dan santai sejenak kami
memutuskan untuk keluar kembali, wisata malam dan mencari
lokasi seafood yang sesuai keinginan.
Tidak terlalu jauh dari hotel, masih kawasan pantai gedung Gonggong kami
memarkirkan mobil dan berjalan kaki menuju kawasan foodcourt yang menyediakan berbagai
makanan khas setempat.
"Nasi goreng satu
kak," minta Riri pada Gita yang lagi menulis pesanan, "jauh-jauh di
sini, masih aja pesan nasi goreng?" celetuk Ujin yang lagi serius melihat
menu. Begitulah Riri, gadis desa tulen yang masih dalam tahap penyesuaian di ibu kota. Angin laut menembus kaos oblong yang
saya kenakan, Lokasi terbuka di pinggir pantai menambah kesejukan malam ini,
Dina dan Fitri tampak gemeretak menahan dingin. Alunan musik koplo dikejauhan
dan rentetan suara klakson di jalan menambah keriuahan gemerlapnya lokasi
ini, piring gelas saling berdenting, suara tawa membahana, dan disela beberapa
kali oleh teriakan penjaga warung bercampur baur dalam alunan kemeriahan.
Kurang dari 40
menit berikutnya semua makanan terhidang di meja kami, gonggong rebus sambel,
kerang bulu pedas asam, dua porsi gulai ikan kerapu, tumis kangkung, martabak
mesir, teh obeng, jus mangga, teh tarik, jeruk hangat, dan nasi goreng Riri
tentu saja. Tanpa aba-aba kami mulai menggerayangi satu persatu dengan iringan
distorsi dangdut koplo dari kejauhan. Kira-kira pukul 11
malam, kami beranjak dari foodcourt
menuju ruang karaoke keluarga Inul Vizta. Bermodalkan
kegalauan Gita membuat kami sepakat musti melampiaskannya malam ini, dengan weze dan google maps (sekali lagi) kami menulusuri
jalan-jalan kota menuju lokasi Inul Vizta. Malam semakin larut, ace mobil dimatikan,
ganti
dengan kaca yang sedikit diturunkan. Intro-intro fals dari Ujin menggema ke sudut-sudut mobil sebagai persiapan memasuki ruang karaoke. Jam
di dinding menunjukan pukul 12 malam ketika resepsionis Inul Vizta hanya
mengizinkan kami bernyanyi satu jam dalam room
family berkapasitas 8 sampai 10 orang, dengan biaya
110 ribu.
Suara-suara sumbang
melengking seantaro ruangan, bercampur dengan cekikikan dan gosip-gosip yang
beredar di tempat kerja. Ujin memainkan Via Vallen dengan Sayang-nya, sesayang kami memuji setelah
lagu itu selesai dikumandangkan. Saya dan Hendra tentu tak mau kalah, U9 dengan
Rasa Percaya kami sikat dengan 99
poin, nyaris sempurna, kicauan dan tepuk tangan membahana
dengan rasa tak percaya. Bulin memainkan dengan sendu Teruskanlah Agnes Monica yang khusus untuk Gita, tak bersuara,
hanya air mata yang menjadi responnya. Dina dan Fitri malu-malu ketika microphone dalam genggamannya mengalun
lagu Anggun Tua-Tua Keladi. Dan Riri,
perempuan -sok- polos situ masih
cengengesan sejak kami masuk ruangan karaoke sampai keluar kembali. Jam
satu dini hari setelah chekout dari Inul
Vista dan berselfie ria di depannya kami
pulang ke hotel, istirahat mempersiapkan tenaga untuk destinasi selanjutnya.
Pukul 7 pagi, dengan
bertelanjang dada dan handuk setengah terbuka Hendra membangunkan ku
dengan lembut, meminta diantar ke gereja bersama Ujin, “aku ngantuk Hend,
baru tertidur setengah empat tadi,” jawabku mencoba
menolak, “cepatlah Ben, bentar aja pun,” sergah Hendra dengan aksen bataknya.
Sekarang Minggu, Hendra dan Ujin mau beribadah sebelum kami melanjutkan perjalanan
ke pulau Penyengat. Jujur aku cukup capek pagi ini, tidak bisa tidur karena
lampu kamar yang terus menyala sampai pagi, tidak boleh dimatikan.
Hendra mengidap Nyctophobia, takut
akan gelap. Laki-laki setengah gahar namun takut kegelapan, pertanyaanya: sejak kapan merem itu
terang? Setelah mengantar Hendra dan Ujin, aku kembali menjeput teman lainnya
untuk mencari sarapan ke luar. Kami mencoba soto yang berada
tak jauh dari hotel, di dekat pelabuhan menuju pulau Penyengat dengan harga bersahabat,
sekitarnya di depan ruko-ruko berjejer stand-stand darurat penjual cemilan khas Tanjung Pinang, berbagai macam jajanan tersaji pagi
ini, Bulin, Dina, Fitri, dan Gita membeli beberapa cemilan sebagai oleh-oleh
untuk pulang dan sebagian dimakan diperjalanan.
Pukul 11 siang setelah beres-beres
dan menjeput Hendra dan Ujin dari gereja, kami checkout dari hotel dan menuju pelabuhan (khusus) pompong Tanjung
Pinang ke pulau Penyengat. Pintu pelabuhan yang agak sempit membuat
kami musti parkir mobil di pinggir jalan, kemudian berjalan kaki menuju loket
tiket dan bibir dermaga memasuki pompong. Pompong merupakan
kapal motor kayu beratapkan terpal berkapasitas 10-15 orang, pompong hanya dikomandoi
oleh satu orang sopir sekaligus pemberi aba-aba ke si penjaga loket. Sewa
pompong per orang hanya 7 ribu per satu kali jalan. Artinya untuk PP Pinang-Penyengat
anda hanya merogoh gocek senilai 14 ribu rupiah, namun jika menyewa satu
pompong hanya membutuhkan 100 ribu untuk satu kali jalannya. Membutuhkan waku
15-20 menit untuk sampai ke pulau Penyengat. Siang ini cuaca cukup bersahabat,
langit terlihat teduh dan angin tidak begitu kencang sehingga
pompong bisa melaju dengan kecepatan penuh. Sampai di sana, pompong
disandarkan dan kami turun bergantian.
Pulau Penyengat merupakan
pulau penduduk terdekat dari kota Tanjung Pinang, bernuansa Melayu Islam. Sepanjang
jalan kita melihat nama dan petunjuk jalan ditulis dalam dua bahasa, arab
melayu dan Indonesia, mesjib Raya Sultan Riau dan bukit Kursi menjadi target
kami di sini. (catatan pribadi: Ada hal yang cukup unik menurut saya
pribadi tentang cat rumah di pulau ini. Sejauh perjalanan yang saya lalui,
belum pernah menemukan orang mengecat khusus lantai rumah mereka, kecuali
memasang keramik dengan warna yang diinginkan. Di Penyengat, tidak jarang saya menemukan
lantai rumah yang di cat, artinya hanya lantai semen biasa namun dicat menjadi
berwarna-warni.) Untuk berkeliling pulau Penyengat kita bisa
menyewa jasa Bentor (becak motor) dengan biaya 30 ribu rupiah,
bisa diisi maksimal 3 orang, bentor akan mengantar anda ke spot-spot wisata di
pulau Penyengat dengan durasi waktu satu jam, lewat dari itu anda akan
dikenakan tarif yang menyesuaikan kesepakatan. Karena tidak ingin terlalu lama
di sini, mengingat masih ada destinasi lainnya, kami hanya berjalan
kaki saja. Setelah sholat sunah di mesjid Raya kami berjalan menuju
bukit Kursi yang tidak jauh dari mesjid tersebut. Konon bukit ini adalah bekas tempat
pertahanan warga sekitar dari serangan musuh/penjajah (baca: Belanda). Masih adanya
sisa benteng pertahanan dan beberapa meriam (yang telah diperbarui tentu saja)
dipasang di beberapa sudut bukit yang mengarah ke perairan sekitar. Tampaknya lokasi ini pernah direnovasi dan
dijadikan objek wisata permanen, terlihat dari beberapa bangunan yang
sudah tidak terawat namun masih terlihat kuat/baru. Sebelumnya kami juga menyinggahi beberapa
makam tetua/keramat di pulau tersebut, yang dijaga dan dirawat dengan baik, tampak penjaga stanby di pintu makam, menerima tamu dan menjelaskan serta menjawab
pertanyaan seputaran sejarah makam. Bulin dan Gita memanjatkan doa dengan khusuk. Aku
menelusuri jalan setapak duluan sekaligus memastikan jalan itu benar dan aman
untuk semuanya, Hendra dan lainnya jalan berbarengan. Dari atas bukit kita
bisa melihat laut yang biru, kapal-kapal barang terparkir
di perairan,
dan pinggiran kota Tanjung Pinang. Angin terasa syahdu
membuat mata menjadi sayu, beberapa pengunjung lain sibuk dengan gadget masing-masing seolah
tidak mau melepaskan dari momen tersebut, tak terkecuali (sekali lagi) Riri
tentu saja. Gerimis mulai terasa, sejak kami menginjakkan
kaki di pulau ini awan mendung seolah bergerak mengikuti. Setelah adzan Zuhur
berkumandang kami turun dengan langkah dipercepat karena hujan sudah tak terbendung.
Foto
bareng di gerbang mesjid Raya menjadikan simbol perpisahan dengan pulau ini,
pukul 13.30 WIB kami menuju pelabuhan untuk menaiki pompong ke Tanjung
Pinang. Sepanjang perjalanan pulang ombak memang agak besar
dari sebelumnya, beberapa penumpang tampak
sedikit panik, termasuk kami, dan mulai berkomat kamit membaca segala mantra dan doa yang membuat pikiran tenang. Destinasi kami
berikutnya adalah Vihara Ksitigarbha Budhisattva, yang
lebih melekat di
masyarakat dengan nama Patung Seribu. Perjalanan menuju vihara memakan waktu kisaran 40 menit dari
pelabuhan Pompong,
sebelumnya kami mengisi bensin kembali senilai 50 ribu. Gerimis masih mengiringi mobil yang kami laju
menuju patung seribu. Vihara Ksitigarbha Budhisattva merupakan salah satu rumah ibadah warga
budha yang terletak di ketinggian dan memiliki banyak patung yang berbaris di dalamnya. Kurang
lebih 600 an patung berukuran sedang tersusun
rapi beserta keterangan dengan bahasa China, dan satu patung besar berada di gerbang
depan seolah menyambut tamu dengan ucapan selamat datang. Masuk vihara dikenakan
biaya 5 ribu per orang. Dari sini kita dapat melihat pemandangan ke perbukitan hijau jika cuaca cerah, angin bukit
yang dingin berkolaborasi dengan pemandangan yang lepas membuat mata seakan
susah diajak kompromi. Dua puluh menitan kami di Vihara,
berfoto sekeren dan semaksimal mungkin biar semua orang tau kami pernah ke sini,
haha
Jam 3 sore kami
bergerak menuju destinasi selanjutnya, sebelum ke pelabuhan Tanjung
Uban untuk kembali naik roro menuju pelabuhan Punggur Batam, kami
menyempatkan diri ke Lagoi Resort. Kawasan wisata yang cukup terkenal di pulau
Bintan. Di dalamnya banyak terdapat objek-objek wisata yang premium, kelas menengah ke atas, terutama soal harga sewa wahana dan biaya masuk. Ada Treasure Bay dengan kolam air garam terbesarnya, Bintan Mangrove green
dengan hutan bakau dan satwa yang mendiaminya, taman Nirwana dengan segala
wahana yang tersedia, Lagoi beach, hotel berbintang, dan segala kemewahan yang
akan mengeruk saku anda lebih dalam. Kawasan ini memang khusus diperuntukan
bagi turis asing maupun lokal yang ingin menikmati keindahan alam Bintan secara privasi dan tenang, karena jauh dari pemukiman warga. Semua
sibuk dengan dunianya masing-masing, Dina
di belakang mendokumentasikan Hendra yang mangap ketika tidur, Fitri masih nyaman ngemil kue bekal tadi,
Riri sibuk memilih, mengedit, dan mengupload foto di laman pesbuknya, Aku dan Bulin saling bercengkrama dan mengingatkan
belokan jalan di depan, dan
sisanya tidur dengan
iringan playlist seadanya. Hanya
butuh waktu 1 jam Bulin menyetir untuk
sampai ke lokasi ini, tepat pukul 4 sore kami memasuki gerbang Lagoi Resort yang dikenakan biaya masuk
2 ribu per mobil (sedang). Karena dikejar waktu kami hanya menuju Treasure
Bay, ingin sedikit melihat kolam air garam terbesar di Asia Tenggara (katanya),
sekalian mencari informasi untuk kunjungan kami berikutnya. Semua tampak cukup
puas, karena mau bagaimanapun kami harus
sampai Tanjung Uban sebelum jam 6 sore, selain roro
terakhir menuju Punggur di jam tersebut juga mobil persewaan
harus dikembalikan.
Keluar
dari Lagoi
Resort kami mengisi bensin kembali senilai 20 ribu, berjaga-jaga biar tidak mogok ditengah jalan menuju pelabuhan Uban. Pengaturan waktu yang
matang, tepat jam 5 kami sampai di pelabuhan Uban, agen persewaannya sudah menunggu.
Setelah pembelian tiket roro dengan harga yang sama, sambil menunggu kapal berangkat kami mencoba cemilan khas Bintan yang
tersedia di sepanjang pintu masuk pelabuhan, otak-otak dengan harga seribu per
bungkusnya. Bulin nyaris memborong semuanya sebagai oleh-oleh untuk teman-teman
di kantor. Setelah kenyang dan merasa cukup kami
memasuki roro, kali ini penumpang cukup padat. Karena jadwal
kapal terakhir dan
adanya siswa-siswi sekolahan berombongan yang habis jalan-jalan atau studi banding ke pulau Bintan. Lantai dua telah di
sesaki
penumpang, Bulin dan Ujin mendapatkan kursi
sisa untuk dua orang saja, sisanya kami menuju lantai 3 (paling atas) dekat dek kapal. Tak kalah sempit, semua pada berjejer di lantai bahkan
tanpa alas, pagar-pagar pembatas telah penuhi penumpang, mau tak mau kami duduk
di lantai seadanya. Jalan
pulang cukup menguras tenaga, karena desak-desakan dan
kondisi kami yang mulai lelah. Lampu-lampu dinyalakan
ketika malam merambat turun dengan perlahan, Dina, Fitri, Riri, dan Gita masih
sesekali cengengesan ketika memainkan hape
merekam lokasi sekitar. Hendra duduk di sela-sela siswa sekolah, sembari
sekali-kali mengadahkan tangan meminta-minta, haha.
Sampai di punggur pukul
setengah 8 malam, rencana menaiki taksi kami urungkan setelah bertemu
bapak-bapak yang menyediakan jasa antar menaiki mobil
pribadinya
yang stanby di depan pelabuhan, dengan harga 15 ribu per orang. so,
berakhirlah liburan kali ini,
liburan dengan mereka-mereka (sekali lagi) yang meraba-raba kegembiraan. Semoga ini menjadi pintu pembuka untuk kebersamaan (jalan-jalan) berikutnya yang lebih istimewa :)
Berikut penjabaran
rincian biaya yang kami keluarkan :