Jumat, 01 Februari 2019

POLEMIK SOSIAL



Bali I

Jemarinya yang lincah aktif menekan satu-demi satu keyboard komputer lama itu, tatapannya yang tajam mengarah pada buku yang terbuka, adanya perpindahan kata demi kata dari buku ke layar monitor 22 inch tersebut. Lirikan mata-mata mengintai padanya, perempuan yang memiliki jemari lincah dengan keyboard komputer tua. Sebut saja Waryo, pria yang hampir tiap hari tidak pernah lupa untuk sekedar singgah atau melempar pertanyaan ke ruangan itu, tentu tidak dengan niat tersebut, melainkan hanya sekedar ingin melihat kecantikan gadis dengan jemari lincah, Wulan. Setiap hal itu Wulan menyadari betul gelagat Waryo ke ruangannya. Tidak hanya sekedar bertanya atau singgah, namun dengan tatapan tajam penuh gairah hendak menerkamnya. Karena segan dan takut, Wulan tidak berani menegur atau menceritakan hal tersebut pada siapapun.

Dua bulan lalu, hari Jum’at, Wulan tidak lupa bagaimana Waryo datang dengan berpura-pura sakit pada kakinya akibat kepeleset di tangga. Mengharapkan rasa iba dan diobati Wulan, dia merintih mengerang dengan manja. Wulan paham itu semua alibi Waryo agar dia mengobati dan memegang kakinya. Sekali lagi, tak bisa menolak Wulan melakukan hal itu. Di lain waktu Waryo datang dengan membawakan dua loyang pizza ukurang sedang, khusus dibelikan untuk Wulan. Dengan perasaan kurang nyaman Wulan menerimanya. Bukan apa-apa, Wulan adalah gadis paruh baya yang baru saja tamat dari Sekolah Menengah Atas. Diterima bekerja di sini merupakan hal yang sangat istimewa baginya, mengingat susahnya mencari pekerjaan zaman sekarang. "Yang tamat kuliah saja masih banyak yang nganggur, apalagi kamu yang hanya tamat SMA," begitu ibunya pernah mengingatkan. Karena itu, pekerjaan ini dimanfaatkan betul dengan bertingkah dan bersikap sebaik mungkin kepada rekan kerja dan atasan tentunya. Waryo adalah atasan langsung dari Wulan, berambut ikal, berkulit coklat, dan berbadan tinggi besar. Sempat berkeluarga beberapa tahun silam, kemudian bercerai karena ketidak cocokan yang menyelimuti hubungan tersebut. 

     Perbedaan umur dan status yang signifikan membuat Wulan tidak pernah menyadari bahwa Waryo akan menyukai dirinya, Wulan hanya menganggap Waryo tak lebih dari atasan (kerja) semata. Namun Waryo berpikiran lain, posisi itu seringkali dimanfaatkannya, agar Wulan selalu di depan mata, dengan semena-mena dia menyuruh gadis tersebut melakukan hal yang tidak berhubungan dengan pekerjaanya, seperti membuatkan kopi, menyapu ruangan, mengelap meja, membuang sampah, dan segala hal yang bukan tanggung jawabnya. Sekali lagi, demi karir Wulan melakukan tanpa protes. Namun seiring waktu, hal-hal tersebut makin terasa aneh, risih, bahkan menjijikan. Namun Waryo makin menjadi-jadi, sampai suatu ketika hal itu terjadi. Waryo mencoba memberanikan diri meminang Wulan, menjadikan istri untuk ke dua kali dalam hidupnya. Wulan terdiam dan tak bisa menjawab apa yang seharusnya dijawab. Cincin permata berbalut emas telah disodorkan pas di depan meja kerja Wulan. Tanpa rasa malu yang berlebihan, membukanya dan hendak memasangkan langsung ke tangan mungil gadis itu seraya berucap, "telah lama kau ku perhatikan dek, telah lama ku menaruh hati padamu, dan sebelum dipinang orang lain, biarlah aku yang meminangmu dulu, kau tentu mau bukan?"

Mesin printer yang berbunyi sembari mengeluarkan secarcik kertas salinan dari ketikan kerja Wulan nyaris selesai keluar sepenuhnya, hanya suara itu yang sementara mampu menjawab ajakan sekaligus pertanyaaan dari Waryo. Wulan masih ragu dan kikuk, ruangan tanpa manusia itu seketika mengerucut, semua benda di dalamnya seolah melirik dan menunggu jawaban langsung dari bibirnya yang ranum.

"Bukannya aku menolak pak, tapi aku masih kecil, belum siap untuk menjadi istrimu," dengan kata yang paling halus yang dipahami coba dilontarkan. "Tak apa dek, justru dengan umur segitu, akan membuatku semakin sabar dalam membangun rumah tangga, tak seperti istriku yang dulu," Waryo tak bergeming. "Menikahlah dengan ku?" sekali lagi ajakan itu semakin menguat.

Seketika telepon dalam ruangan itu berdering. Wulan segera mengangkatnya, panggilan dari rekan kerja membuatnya sedikit lega dari tekanan ajakan Waryo. Tiba-tiba ada yang memasuki ruangan tersebut, Waryo bergegas kembali ke ruangannya dan menutup cincin yang telah dibuka. Hari itu Wulan merasa terselamatkan berkat dua hal, telepon berdering dan kedatangan tamu kantor yang harus dilayani Waryo. Ketika jam kerja berakhir Wulan bergegas pulang duluan tanpa berpamitan ke siapapun. Dan belakangan momen-momen dan kejadian-kejadian seperti itu sering terjadi, dan beribu alasan telah dicari Wulan untuk membatalkan niat Waryo. Namun bukan Waryo namaya kalau mudah patah arang, terus dicoba dan dilakukan dengan banyak cara dan kesempatan.

Sore itu saat pulang kerja, Wulan bergegas menuju tempat motornya diparkirkan. Seketika dia kaget dengan adanya bingkisan se plastik besar bertuliskan nama brand salah satu produk makanan cepat saji kota ini. Berisi dua box besar ayam goreng plus bumbu dan sambal khasnya. Dari suhu bingkisan ini terasa baru diletakkan di motornya, masih hangat. Wulan sempat berpikir jangan-jangan yang punya tukang parkir, namun setelah ditanyai penjaga parkir tidak tau soal itu. Di sekitar tidak ada siapa-siapa, dengan ragu Wulan tetap membawa bingkisan tersebut pulang.
"Itu dari abang dek, makanlah sebelum kamu kenyang," cukup puitis pesan Whatsapp dari Waryo yang diterima Wulan seketika sampai di rumah. Tak ada pilihan, Wulan hanya mengucapkan terima kasih dengan ragu. Kejutan-kejutan seperti itu makin hari makin sering terjadi, terutama di tempat kerja. Bunga, buku, kutipan puisi, potongan cerpen, screencapture quote Instagram berserakan di meja kerja dan layar hape Wulan. Gadis polos itu tidak enak hati, dan memilih diam sebagai responnya.

Sebenarnya Wulan tidaklah lajang, dia merajut kasih dengan teman sekolahnya dulu, Wawan. Pria terbaik yang dia kenal sejak kelas dua SMA. Meskipun jarak mereka cukup jauh sekarang, namun hubungan mereka tetap hangat seperti masa-masa perkenalan dulu. Tamat SMA Wawan melanjutkan kuliah di salah satu universitas terbaik di kota lain. Sejak itu Wawan jarang sekali pulang, namun bukan berarti mereka lost contact begitu saja. Nyaris setiap malam perpaduan suara mereka menggema ke sisi-sisi kamar Wulan, baik berupa voice call maupun video call. Sesekali gadis lembut ini cekikikan dengan joke-joke garing yang disampaikan Wawan. Namun membahas soal Waryo kepada Wawan belum bisa dilakukan Wulan, karena Wawan cukup protektif soal hal itu. Bisa-bisa malah disuruh resign atau pindah kerja, dan mengingat susahnya mencari pekerjaan saat ini, Wulan masih menyimpan itu semua. Toh tidak akan lama, sesuai janji Wawan dulu, hubungan mereka akan memasuki tahap selanjutnya yaitu pernikahan. Beberapa kali ayah Wulan telah memberi kode kepada Wawan untuk meminta keluarganya datang kerumah membahas apa yang terbaik untuk mereka ke depannya, agar bisa dipersiapkan segala sesuatunya. Wawan menjanjikan semua itu dilibur semester depan, akan membawa keluarga besarnya ke rumah Wulan.

Hal-hal yang indah bagi Wulan saat ini tak lepas dari janji mereka untuk hidup bersama kedepannya. Membayangkan apa yang dijanjikan Wawan kelak membuatnya acap kali tersenyum sendiri. "Tinggal di rumah sederhana berdua, dan kau menunggu kepulangan ku mengajar tiap sorenya, itu telah membuatku bahagia di kehidupan ini," ungkap Wawan meyakinkan Wulan betapa bahagianya kelak rumah tangga mereka. Gombalan-gombalan dangkal tersebut memang disukai Wulan, tidak peduli kenyataan itu pahit, namun sekedar khayalan itu sudah cukup membuat Wulan bahagia. Dan harapan itu semakin hari semakin besar, rasa ingin bersama bak air bah yang datang keroyokan ke hati Wulan, bayangan wajah Wawan selalu menghantui setiap aktivitasnya.
***


Bali II

Kicauan murai batu tetangga mengiringi keberangkatan Waryo pagi itu, berangkat kerja menjadi rutinitas wajibnya disetiap pagi kecuali Minggu dan tanggal merah. Bekerja di sebuah perusahaan swasta yang bergerak dalam bisnis properti. Keloyalitasannya pada perusahaan selama delapan tahun membuatnya diangkat menjadi Direktur Pemasaran, sebuah pencapaian yang istimewa. Di sana juga dia mengenal istri pertamanya yang bernama Ita, dara cantik bertubuh bohai tersebut berhasil dipersunting Waryo. Namun apa hendak dikata, hubungan mereka kandas ditengah jalan, sikap tempramen Waryo tidak bisa dibendung ketika tau Ita sering pulang ke rumah ibunya dan mengadu hal-hal sepele yang terjadi dalam rumah tangga mereka, Waryo tidak suka hal tersebut. Tiga bekas jari membiru di wajah Ita, membuat hakim pengadilan melegalkan perceraian mereka. Peristiwa tersebut persis terjadi setahun yang lalu, jauh sebelum Wulan masuk ke perusahaan ini. Dan kedatangan Wulan seolah membangkitkan gairah Waryo kembali untuk mencari pasangan hidup, dan melihat kepolosannya semakin membuat Waryo menggebu ingin memiliki. 

Bunyi klakson menggema ketika mobil Waryo memasuki gerbang kantor dan melaju dengan mulus ke parkiran yang tersedia khusus. Di sana Waryo melihat Wulan senyum-senyum sembari memegang hape yang didekatkan ke telinganya. Waryo curiga, dengan siapa gerangan menelepon dan senyum-senyum begitu, meskupun tidak ada hubungan tapi rasa cemburu telah merasuki pikiran Waryo. Tak basa-basi seperti biasanya dia langsung menuju office, menunggu Wulan masuk dan akan menanyai hal tersebut.  Sembari menuju pantry Waryo bersiul sekaligus melirik ke Wulan yang baru duduk di kursinya.

“Telat nih, abis ngapain? Tumben,” tanya Waryo sembari menuangkan air panas ke gelasnya. “Iya pak, maaf, tadi kesiangan,” jawab Wulan.
“Kesiangan apa kesiangan? Atau sibuk telponan semalaman? Telponin siapa tu? Senyum-senyum sendiri,” Waryo tetap menekan dengan ketus.
Wulan bingung sekaligus kaget dengan cercaan pertanyaan itu, dan membuatnya mantap harus berani jujur dan terbuka. “Habis ditelpon calon suami pak!” jawab Wulan mantap.

Seketika Waryo menyeruput kopi yang baru selesai diaduk dengan sedikit gula cair, terasa begitu pahit dan tersendak di kerongkongan. Mengambil secarcik kertas dalam kantong baju, meremuk, dan membuangnya ke tong sampah sambil berlalu di depan Wulan. Kertas yang penuh coretan dan beberapa potongan kalimat dipinggirnya. Hasil berpikir semalam suntuk setelah pulang dari pertemuan dengan seseorang customer kantor, yang mau membeli satu unit rumah untuk anaknya yang akan menikah. Wulan curiga dan penasaran lalu mengambilnya…

Meski menunggu itu bosan, tapi aku siap menununggu mu dengan tanpa bosan.
Meskipun menanti itu jenuh, tapi aku rela menanti mu tanpa jenuh.
Meskipun kecewa itu sakit, tapi aku rela merasakan itu untuk mu.
Kamu membuatku bergerak perlahan untuk merasakan itu semua dengan sadar.
Aku mencintaimu baru, seumur padi yang baru menguning, seumur beras yang baru dikupas.
Mungkin kesempatanku kecil, atau nyaris tidak ada,
namun asa tidak boleh pupus, harapan terus dikembangkan dan diperjuangkan.
Bukankah Tuhan hanya menyuruh hambaNya begitu? Berusaha dan berdoa.
Soal hasil biarlah menjadi rahasia dan tugasNya.
Dan apapun itu, disanalah kata sabar dan ujian patut dipahami. Jadikan sebagai refleksi untuk usaha dan doa yang lebih kuat lagi…
***


November 2018 - Januari 2019

Senin, 03 September 2018

CATATAN PERJALANAN KE PULAU BINTAN (2)

Sabtu-Minggu, 1-2 September 2018

Menelusuri beberapa titik persinggahan di pulau Bintan Kepulauan Riau dengan mereka yang meraba-raba kegembiraan. Dua hari satu malam kami lewati bersama-sama, berangkat dari tempat kami bekerja menggunakan Gocar menuju pelabuhan Punggur Batam untuk menaiki kapal roro menuju Tanjung Uban, pulau Bintan. Perjalanan yg didasari oleh padatnya rutinitas pekerjaan membuat kami harus memantapkan rencana untuk berlibur bersama, dan seminggu sebelumnya sudah kami matangkan tentu saja.

Hendra, Bulin, Ben, Gita, Ujin, Riri, Dina, dan Fitri delapan orang karyawan sebuah perusahaan swasta di kota Batam. Perjalanan bermula dari lokasi kerja pada pukul 2 siang, menaiki dua mobil pesanan (gocar) dengan biaya 20 ribu per unit menuju pelabuhan Punggur dengan durasi kurang lebih 30 menit. Sampai di Punggur, kami membeli tiket roro di loket dengan harga 20 ribu per orangnya. Pukul 15.00 WIB roro dengan klakson besarnya segera beranjak dari pelabuhan.

"Mual aku Hen!" oceh Bulin ketika roro mulai goyang di perairan. "Ya sudah, bawa tidur aja Bu", balas Hendra seadanya. Bulin memang jarang naik kapal apalagi roro dengan segala kekurangannya, tak ada nomor kursi, tak ada organ tunggal, tak ada jasa massage tentu saja. Semua bebas, bak hukum rimba, siapa cepat dia dapat, yang datang duluan dia yang mendapatkan posisi dan kursi terbaik. Kecepatan rendah membuat perjalanan terasa lama, padahal dari pelabuhan Punggur pulau Bintan telah nampak, tidak jauh-jauh sekali, namun karena berbagai faktor membutuhkan waktu satu jam untuk kapal bersandar ke pelabuhan Tanjung Uban tersebut. Sepanjang perairan kita bisa melihat kawasan-kawasan industri di bibir pantai pulau Batam, kapal-kapal barang yang terparkir, speedboat patroli polisi, dan beberapa kapal penangkap ikan sekitar yang tampak menua. Cuaca siang ini cukup cerah, beberapa dari kami tidak lupa mendokumentasikan perjalanan ini, jarang-jarang naik kapal segede ini, kecuali aku yang memang sedari kuliah cukup aktif memakai jasa transportasi laut, setidaknya sekali setahun, antara Merak dan Bakauheni. Laut lepas berwarna biru kecoklatan, riak gelombang, dan pulau-pulau gersang sebagai background foto telah berhasil diabadikan Riri, hape Oppo nya nyaris tidak diam semenjak kami menaiki kapal, percayalah, perempuan termuda yang -sangat- eksis di pesbuk ini tidak akan melewatkan momen ini begitu saja.

Satu jam setelahnya, 16.00 WIB roro merapatkan badan ke dermaga Tanjung Uban, pulau Bintan. Pengumuman dari dek kapal menandakan sudah saatnya kami turun, sekali lagi Riri tak melewatkan begitu saja, beberapa kali jepretan dilakukan sebelum kami benar-benar turun dari kapal. Mobil yang kami booking jauh hari telah menunggu di gerbang pelabuhan, biaya sewa 300 ribu per hari, setelah negosiasi selesai kami langsung menuju pom terdekat dan mengisi BBM senilai 100 ribu. Menunggu Bulin, Fitri, dan Gita sholat, aku dan Hendra berbelanja keperluan di minimarket sekitar. Tanjung Uban tidak begitu besar/luas, bangunannya pun cendrung sederhana, tidak ada bangunan tinggi, hanya ruko-ruko sederhana di sepanjang jalan kota, ini tak jauh berbeda dengan kota kabupaten dikampungku, hanya di sini lebih banyak perusahaan besar. Terlihat di sebagian bibir pantai Tanjung Uban berdiri bangunan-bangunan pabrik yang mengeluarkan asap hasil pembakaran. Jalanannya pun sederhana, sepanjang yang kami tempuh tidak menemukan lajur dua, hanya jalan dua arah seperti biasa, senada dengan kendaraan-kendaraan yang melintasinya, kami tidak menemukan truk tronton atau mobil besar, entah karena mobil tersebut ada jadwal khusus masuk kota ini, kami tidak tahu.

Lamunanku tiba-tiba buyar setelah Bulin mengajak untuk segera jalan, menandakan mereka telah selesai sholat dan beres-beres. Kami melanjutkan perjalanan menuju lokasi wisata pertama yaitu Bukit Pasir Bintan, salah satu objek wisata dan spot foto yang lagi viral di dunia maya, tanya saja Riri kalau anda tidak yakin. Jalanan yang cukup lapang dan sepi tak membutuhkan waktu lama sampai di lokasi ini, lebih kurang 30 menit kami memasuki kawasan Bukit Pasir, disambut petugas parkir dan beberapa pengunjung lain yang sedang berfoto. Gundukan-gundukan pasir putih yang telah mengeras menjadikan lokasi ini menyerupai kawasan padang pasir di Timur Tengah, dengan menambah objek patung onta dan ornamen lain menjadikan kemiripan itu semakin nyata. Tak perlu aba-aba untuk kami langsung menelusuri bagian-bagian gundukan mencari spot foto terbaik dan terbagus versi kami. Konon kata temanku warga sekitar sini, Bukit Pasir ini adalah bekas tambang timah Tanjung Uban dulu kala, gundukan itu terbentuk dari sisa galian timah yang di keruk dari dalam tanah. Senja telah datang, matahari perlahan pamit untuk kembali, beberapa foto telah berhasil di simpan di kamera hape masing-masing dengan pose yang bervariasi. Sekedar info, masuk Bukit Pasir tidak dikenakan biaya kecuali anda berfoto bersama objek yang disediakan pengelola, sperti onta (buatan), pelangi (buatan), dan hiasan-hiasan yang berbentuk hati. Kalau cuma sekedar bermain di bukit pasir, dan tidak berbelanja diwarung sekitar tentu saja, anda cuma dikenakan tarif parkir kendaran normal, untuk mobil hanya 5 ribu rupiah.

Jalanan telah nampak gelap, petugas parkir memberi aba-aba kalau jam kunjung wisata telah habis, belum cukup lampu penerangan untuk kawasan ini sebagai objek wisata malam hari, dan memang kami satu-satunya pengunjung yang tersisa. Setelah membayar parkir, kami melanjutklan perjalan menuju Kota Tanjung Pinang, suara Charly van Houten berkumandang sepanjang perjalanan, flashdisk mp3 yang tersedia dalam mobil ini tidak memberi kami banyak peluang untuk menentukan lagu lain. Riri, Ujin, Dina, dan Fitri begitu larut dalam alunan ST12 sampai tidak menyadari bahwa kami akan segera memasuki kota Tanjung Pinang.  Lebih kurang 2 jam perjalanan kami dari Bukit Pasir ke kota ini, jalanan yang luas dan lengang menambah kecepatan durasi waktu. Melewati jalur barat, jalur terbaru dan terdekat antara Tanjung Uban dan Tanjung Pinang. Sekedar info, untuk ke dua kota ini bisa kita tempuh dengan dua jalur, lama (tengah) dan baru (barat).

Jalan dua lajur sebagai penanda bahwa kami telah memasuki koa Tanjung Pinang, kota ini cukup padat dari pengendara motor dan mobil pribadi namun tetap lancar, kami nyaris tidak melihat adanya angkutan umum semacam bus kota atau sejenisnya. Tekstur jalan yang tidak merata, menanjak dan menurun membuat pengendara menjaga betul kecepatannya, dan bermodalkan aplikasi smartphone Wize dan googlemaps kami langsung menuju salah satu landmark kota tersebut, yaitu gedung Gonggong. Gedung yang menyerupai gonggong (siput laut) besar, yang berada di bibir pantai dekat pelabuhan ferry. Namun karena capek dan gerah kami memustuskan hanya sekedar lewat dan langsung mencari hotel tempat bermalam. Pada pukul 21.00 WIB setelah googling dan mencari-cari penginapan sekitar, kami menemukan hotel yang cocok untuk kebutuhan berdelapan, harga permalamnya 170 ribu untuk 2 orang dengan 2 bad/kasur. Aku sekamar dengan Hendra, Bulin dengan Riri, Dina dengan Fitri, dan Ujin dengan Gita. Semua tampak lelah, tanpa komentar panjang perlahan kami memasuki kamar masing-masing. Hotel sederhana yang tidak menyediakan parkiran khusus mobil, hanya mengandalkan ruas jalan searah di depannya.  Setelah bersih-bersih dan santai sejenak kami memutuskan untuk keluar kembali, wisata malam dan mencari lokasi seafood yang sesuai keinginan. Tidak terlalu jauh dari hotel, masih kawasan pantai gedung Gonggong kami memarkirkan mobil dan berjalan kaki menuju kawasan foodcourt yang menyediakan berbagai makanan khas setempat.

"Nasi goreng satu kak," minta Riri pada Gita yang lagi menulis pesanan, "jauh-jauh di sini, masih aja pesan nasi goreng?" celetuk Ujin yang lagi serius melihat menu. Begitulah Riri, gadis desa tulen yang masih dalam tahap penyesuaian di ibu kota. Angin laut menembus kaos oblong yang saya kenakan, Lokasi terbuka di pinggir pantai menambah kesejukan malam ini, Dina dan Fitri tampak gemeretak menahan dingin. Alunan musik koplo dikejauhan dan rentetan suara klakson di jalan menambah keriuahan gemerlapnya lokasi ini, piring gelas saling berdenting, suara tawa membahana, dan disela beberapa kali oleh teriakan penjaga warung bercampur baur dalam alunan kemeriahan.

Kurang dari 40 menit berikutnya semua makanan terhidang di meja kami, gonggong rebus sambel, kerang bulu pedas asam, dua porsi gulai ikan kerapu, tumis kangkung, martabak mesir, teh obeng, jus mangga, teh tarik, jeruk hangat, dan nasi goreng Riri tentu saja. Tanpa aba-aba kami mulai menggerayangi satu persatu dengan iringan distorsi dangdut koplo dari kejauhan. Kira-kira pukul 11 malam, kami beranjak dari foodcourt menuju ruang karaoke keluarga Inul Vizta. Bermodalkan kegalauan Gita membuat kami sepakat musti melampiaskannya malam ini, dengan weze dan google maps (sekali lagi) kami menulusuri jalan-jalan kota menuju lokasi Inul Vizta. Malam semakin larut, ace mobil dimatikan, ganti dengan kaca yang sedikit diturunkan. Intro-intro fals dari Ujin menggema ke sudut-sudut mobil sebagai persiapan memasuki ruang karaoke. Jam di dinding menunjukan pukul 12 malam ketika resepsionis Inul Vizta hanya mengizinkan kami bernyanyi satu jam dalam room family berkapasitas 8 sampai 10 orang, dengan biaya 110 ribu.

Suara-suara sumbang melengking seantaro ruangan, bercampur dengan cekikikan dan gosip-gosip yang beredar di tempat kerja. Ujin memainkan Via Vallen dengan Sayang-nya, sesayang kami memuji setelah lagu itu selesai dikumandangkan. Saya dan Hendra tentu tak mau kalah, U9 dengan Rasa Percaya kami sikat dengan 99 poin, nyaris sempurna, kicauan dan tepuk tangan membahana dengan rasa tak percaya. Bulin memainkan dengan sendu Teruskanlah Agnes Monica yang khusus untuk Gita, tak bersuara, hanya air mata yang menjadi responnya. Dina dan Fitri malu-malu ketika microphone dalam genggamannya mengalun lagu Anggun Tua-Tua Keladi. Dan Riri, perempuan -sok- polos situ masih cengengesan sejak kami masuk ruangan karaoke sampai keluar kembali. Jam satu dini hari setelah chekout dari Inul Vista dan berselfie ria di depannya kami pulang ke hotel, istirahat mempersiapkan tenaga untuk destinasi selanjutnya.

Pukul 7 pagi, dengan bertelanjang dada dan handuk setengah terbuka Hendra membangunkan ku dengan lembut, meminta diantar ke gereja bersama Ujin, “aku ngantuk Hend, baru tertidur setengah empat tadi,” jawabku mencoba menolak, “cepatlah Ben, bentar aja pun,” sergah Hendra dengan aksen bataknya. Sekarang Minggu, Hendra dan Ujin mau beribadah sebelum kami melanjutkan perjalanan ke pulau Penyengat. Jujur aku cukup capek pagi ini, tidak bisa tidur karena lampu kamar yang terus menyala sampai pagi, tidak boleh dimatikan. Hendra mengidap Nyctophobia, takut akan gelap. Laki-laki setengah gahar namun takut kegelapan, pertanyaanya: sejak kapan merem itu terang? Setelah mengantar Hendra dan Ujin, aku kembali menjeput teman lainnya untuk mencari sarapan ke luar. Kami mencoba soto yang berada tak jauh dari hotel, di dekat pelabuhan menuju pulau Penyengat dengan harga bersahabat, sekitarnya di depan ruko-ruko berjejer stand-stand darurat penjual cemilan khas Tanjung Pinang, berbagai macam jajanan tersaji pagi ini, Bulin, Dina, Fitri, dan Gita membeli beberapa cemilan sebagai oleh-oleh untuk pulang dan sebagian dimakan diperjalanan.

Pukul 11 siang setelah beres-beres dan menjeput Hendra dan Ujin dari gereja, kami checkout dari hotel dan menuju pelabuhan (khusus) pompong Tanjung Pinang ke pulau Penyengat. Pintu pelabuhan yang agak sempit membuat kami musti parkir mobil di pinggir jalan, kemudian berjalan kaki menuju loket tiket dan bibir dermaga memasuki pompong. Pompong merupakan kapal motor kayu beratapkan terpal berkapasitas 10-15 orang, pompong hanya dikomandoi oleh satu orang sopir sekaligus pemberi aba-aba ke si penjaga loket. Sewa pompong per orang hanya 7 ribu per satu kali jalan. Artinya untuk PP Pinang-Penyengat anda hanya merogoh gocek senilai 14 ribu rupiah, namun jika menyewa satu pompong hanya membutuhkan 100 ribu untuk satu kali jalannya. Membutuhkan waku 15-20 menit untuk sampai ke pulau Penyengat. Siang ini cuaca cukup bersahabat, langit terlihat teduh dan angin tidak begitu kencang sehingga pompong bisa melaju dengan kecepatan penuh. Sampai di sana, pompong disandarkan dan kami turun bergantian.


Pulau Penyengat merupakan pulau penduduk terdekat dari kota Tanjung Pinang, bernuansa Melayu Islam. Sepanjang jalan kita melihat nama dan petunjuk jalan ditulis dalam dua bahasa, arab melayu dan Indonesia, mesjib Raya Sultan Riau dan bukit Kursi menjadi target kami di sini. (catatan pribadi: Ada hal yang cukup unik menurut saya pribadi tentang cat rumah di pulau ini. Sejauh perjalanan yang saya lalui, belum pernah menemukan orang mengecat khusus lantai rumah mereka, kecuali memasang keramik dengan warna yang diinginkan. Di Penyengat, tidak jarang saya menemukan lantai rumah yang di cat, artinya hanya lantai semen biasa namun dicat menjadi berwarna-warni.) Untuk berkeliling pulau Penyengat kita bisa menyewa jasa Bentor (becak motor) dengan biaya 30 ribu rupiah, bisa diisi maksimal 3 orang, bentor akan mengantar anda ke spot-spot wisata di pulau Penyengat dengan durasi waktu satu jam, lewat dari itu anda akan dikenakan tarif yang menyesuaikan kesepakatan. Karena tidak ingin terlalu lama di sini, mengingat masih ada destinasi lainnya, kami hanya berjalan kaki saja. Setelah sholat sunah di mesjid Raya kami berjalan menuju bukit Kursi yang tidak jauh dari mesjid tersebut. Konon bukit ini adalah bekas tempat pertahanan warga sekitar dari serangan musuh/penjajah (baca: Belanda). Masih adanya sisa benteng pertahanan dan beberapa meriam (yang telah diperbarui tentu saja) dipasang di beberapa sudut bukit yang mengarah ke perairan sekitar.  Tampaknya lokasi ini pernah direnovasi dan dijadikan objek wisata permanen, terlihat dari beberapa bangunan yang sudah tidak terawat namun masih terlihat kuat/baru. Sebelumnya kami juga menyinggahi beberapa makam tetua/keramat di pulau tersebut, yang dijaga dan dirawat dengan baik, tampak penjaga stanby di pintu makam, menerima tamu dan menjelaskan serta menjawab pertanyaan seputaran sejarah makam. Bulin dan Gita memanjatkan doa dengan khusuk. Aku menelusuri jalan setapak duluan sekaligus memastikan jalan itu benar dan aman untuk semuanya, Hendra dan lainnya jalan berbarengan. Dari atas bukit kita bisa melihat laut yang biru, kapal-kapal barang terparkir di perairan, dan pinggiran kota Tanjung Pinang. Angin terasa syahdu membuat mata menjadi sayu, beberapa pengunjung lain sibuk dengan gadget masing-masing seolah tidak mau melepaskan dari momen tersebut, tak terkecuali (sekali lagi) Riri tentu saja. Gerimis mulai terasa, sejak kami menginjakkan kaki di pulau ini awan mendung seolah bergerak mengikuti. Setelah adzan Zuhur berkumandang kami turun dengan langkah dipercepat karena hujan sudah tak terbendung.

Foto bareng di gerbang mesjid Raya menjadikan simbol perpisahan dengan pulau ini, pukul 13.30 WIB kami menuju pelabuhan untuk menaiki pompong ke Tanjung Pinang. Sepanjang perjalanan pulang ombak memang agak besar dari sebelumnya, beberapa penumpang tampak sedikit panik, termasuk kami, dan mulai berkomat kamit membaca segala mantra dan doa yang membuat pikiran tenang. Destinasi kami berikutnya adalah Vihara Ksitigarbha Budhisattva, yang lebih melekat di masyarakat dengan nama Patung Seribu. Perjalanan menuju vihara memakan waktu kisaran 40 menit dari pelabuhan Pompong, sebelumnya kami mengisi bensin kembali senilai 50 ribu. Gerimis masih mengiringi mobil yang kami laju menuju patung seribu. Vihara Ksitigarbha Budhisattva merupakan salah satu rumah ibadah warga budha yang terletak di ketinggian dan memiliki banyak patung yang berbaris di dalamnya. Kurang lebih 600 an patung berukuran sedang tersusun rapi beserta keterangan dengan bahasa China, dan satu patung besar berada di gerbang depan seolah menyambut tamu dengan ucapan selamat datang. Masuk vihara dikenakan biaya 5 ribu per orang. Dari sini kita dapat melihat pemandangan ke perbukitan hijau jika cuaca cerah, angin bukit yang dingin berkolaborasi dengan pemandangan yang lepas membuat mata seakan susah diajak kompromi. Dua puluh menitan kami di Vihara, berfoto sekeren dan semaksimal mungkin biar semua orang tau kami pernah ke sini, haha


Jam 3 sore kami bergerak menuju destinasi selanjutnya, sebelum ke pelabuhan Tanjung Uban untuk kembali naik roro menuju pelabuhan Punggur Batam, kami menyempatkan diri ke Lagoi Resort. Kawasan wisata yang cukup terkenal di pulau Bintan. Di dalamnya banyak terdapat objek-objek wisata yang premium, kelas menengah ke atas, terutama soal harga sewa wahana dan biaya masuk. Ada Treasure Bay dengan kolam air garam terbesarnya, Bintan Mangrove green dengan hutan bakau dan satwa yang mendiaminya, taman Nirwana dengan segala wahana yang tersedia, Lagoi beach, hotel berbintang, dan segala kemewahan yang akan mengeruk saku anda lebih dalam. Kawasan ini memang khusus diperuntukan bagi turis asing maupun lokal yang ingin menikmati keindahan alam Bintan secara privasi dan tenang, karena jauh dari pemukiman warga. Semua sibuk dengan dunianya masing-masing, Dina di belakang mendokumentasikan Hendra yang mangap ketika tidur, Fitri masih nyaman ngemil kue bekal tadi, Riri sibuk memilih, mengedit, dan mengupload foto di laman pesbuknya, Aku dan Bulin saling bercengkrama dan mengingatkan belokan jalan di depan, dan sisanya tidur dengan iringan playlist seadanya.  Hanya butuh waktu 1 jam Bulin menyetir untuk sampai ke lokasi ini, tepat pukul 4 sore kami memasuki gerbang Lagoi Resort yang dikenakan biaya masuk 2 ribu per mobil (sedang). Karena dikejar waktu kami hanya menuju Treasure Bay, ingin sedikit melihat kolam air garam terbesar di Asia Tenggara (katanya), sekalian mencari informasi untuk kunjungan kami berikutnya. Semua tampak cukup puas, karena mau bagaimanapun kami harus sampai Tanjung Uban sebelum jam 6 sore, selain roro terakhir menuju Punggur di jam tersebut juga mobil persewaan harus dikembalikan.

Keluar dari Lagoi Resort kami mengisi bensin kembali senilai 20 ribu, berjaga-jaga biar tidak mogok ditengah jalan menuju pelabuhan Uban. Pengaturan waktu yang matang, tepat jam 5 kami sampai di pelabuhan Uban, agen persewaannya sudah menunggu. Setelah pembelian tiket roro dengan harga yang sama, sambil menunggu kapal berangkat kami mencoba cemilan khas Bintan yang tersedia di sepanjang pintu masuk pelabuhan, otak-otak dengan harga seribu per bungkusnya. Bulin nyaris memborong semuanya sebagai oleh-oleh untuk teman-teman di kantor. Setelah kenyang dan merasa cukup kami memasuki roro, kali ini penumpang cukup padat. Karena jadwal kapal terakhir dan adanya siswa-siswi sekolahan berombongan yang habis jalan-jalan atau studi banding ke pulau Bintan. Lantai dua telah di sesaki penumpang, Bulin dan Ujin mendapatkan kursi sisa untuk dua orang saja, sisanya kami menuju lantai 3 (paling atas) dekat dek kapal. Tak kalah sempit, semua pada berjejer di lantai bahkan tanpa alas, pagar-pagar pembatas telah penuhi penumpang, mau tak mau kami duduk di lantai seadanya. Jalan pulang cukup menguras tenaga, karena desak-desakan dan kondisi kami yang mulai lelah. Lampu-lampu dinyalakan ketika malam merambat turun dengan perlahan, Dina, Fitri, Riri, dan Gita masih sesekali cengengesan ketika memainkan hape merekam lokasi sekitar. Hendra duduk di sela-sela siswa sekolah, sembari sekali-kali mengadahkan tangan meminta-minta, haha.

Sampai di punggur pukul setengah 8 malam, rencana menaiki taksi kami urungkan setelah bertemu bapak-bapak yang menyediakan jasa antar menaiki mobil pribadinya yang stanby di depan pelabuhan, dengan harga 15 ribu per orang. so, berakhirlah liburan kali ini, liburan dengan mereka-mereka (sekali lagi) yang meraba-raba kegembiraan. Semoga ini menjadi pintu pembuka untuk kebersamaan (jalan-jalan) berikutnya yang lebih istimewa :)

Berikut penjabaran rincian biaya yang kami keluarkan :